Sabtu, 10 Desember 2011
Berantas Korupsi dengan Syariah Bernilai Ibadah
Keberadaan Polri dan Kejaksaan tidak mampu membendung
derasnya korupsi di Indonesia sehingga dibentuklah KPK. Tetapi alih-alih
korupsi sirna malah terjadi fenomena Gayus. Ada apa ini? Seriuskah pemerintah
memberantas korupsi? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com
Joko Prasetyo dengan Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail
Yusanto. Berikut petikannya.
Setiap 9 Desember Indonesia turut merayakan Hari Anti
Korupsi Sedunia tetapi mengapa korupsi malah semakin marak?
Karena yang dilakukan hanya sebatas seremonial. Ada
seminar anti korupsi dibuka oleh presiden. Ada Hari Anti Korupsi, semua
memperingati. Tetapi tidak ada langkah-langkah yang justru diperlukan dalam
penanggulangan korupsi itu.
Apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan itu?
Pertama, teladan dari pemimpin. Teladan itu tidak ada. Korupsi
itu kan sebenarnya menyangkut prilaku, sedangkan prilaku sangat terkait dengan
kebiasaan, kebiasaan ditentukan oleh lingkungan. Dalam budaya patrialistik
seperti di Indonesia ini, lingkungan itu dipengaruhi oleh teladan pimpinan.
Teladan yang ada sekarang ini justru pimpinan yang
mengajari korupsi. Dirjen korup karena menterinya korup, menteri korup karena
tahu presidennya korup, begitu! Jadi sebenarnya Gayus itu hanya fenomena kecil.
Tidak mungkin Gayus itu melakukan begitu kalau dia tidak tahu atasannya
melakukan korupsi.
Kedua, tidak ada hukuman yang setimpal. Hampir semua
terpidana korupsi itu hanya divonis tiga sampai empat tahun. Dapat remisi dan
remisi jadi dipenjaranya hanya sekitar satu tahun. Tidak ada yang dihukum mati.
Ketiga, tidak ada pembuktian terbalik. Semua persidangan
korupsi hakimnya yang harus membuktikan bahwa secara materiil yang bersangkutan
korupsi. Lha, mana ada sekarang koruptor yang meninggalkan jejak! Sekarang ini
kan bukti transfer tidak ada, cek tidak ada, semuanya itu kontan dari tangan ke
tangan. Kalau perlu penyelesaiannya dilakukan di luar negeri.
Tetapi kalau pembuktian terbalik itu bisa dilakukan,
jadi bukan hakim lagi yang harus membuktikan, tetapi yang bersangkutan harus
dapat membuktikan bahwa harta yang didapatnya itu diperoleh dengan cara yang
halal.
Nah, tiga poin ini yang justru tidak dilakukan. Bahkan
pasal pembuktian terbalik dihapus dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Siapa yang menghapus? Anggota DPR. Mengapa anggota DPR menghapus? Karena
anggota DPR juga takut kalau delik dalam pasal tersebut kena ke dirinya.
Itu berarti menunjukkan ketidakseriusan dalam
memberantas korupsi kan? Pemerintah diam saja melihat kelakukan DPR seperti
itu. Karena pemerintah juga tahu kalau ada pasal pembuktian terbalik dirinya
juga kena.
Kalau dalam sudut pandang Islam keseriusan memberantas
korupsi ditunjukkan dengan apa?
Tiga poin di antaranya kan sudah disebut tuh
barusan. Itu semua ada teladannya di masa Nabi Muhammad SAW dan para khalifah.
Contoh di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Sebelum aparat negara menjabat,
dihitung dulu harta kekayaannya. Di akhir jabatannya dihitung lagi, jika ada
kelebihan dan si pejabat itu tidak dapat membuktikan bahwa kelebihannya itu
diperoleh dengan cara halal, kelebihan tersebut diambil atau dibagi dua dengan
kas negara.
Mengapa harus pakai solusi syariah, toh Singapura
tidak pakai Islam bisa berantas korupsi?
Kita ini tidak bicara hanya soal korupsi. Tetapi
berbicara tentang sebuah sistem, sebuah pengaturan yang satu aspek dengan aspek
lainnya itu mempunyai hubungan. Memang di dalam satu hal, mengenai korupsi, di
sejumlah negara, katanlah di Singapura dan Swiss, angka korupsi itu bisa
ditekan seminimal mungkin padahal tidak pakai syariah.
Tetapi sebenarnya Singapura dan Swiss ini telah
kehilangan nilai transendental. Artinya, mereka tidak korupsi itu karena
semata-mata takut kepada hukuman yang diterapkan oleh negaranya itu serta tidak
menjadikannya sebagai bagian dari ibadah. Kalau kita menggunakan syariah maka
kesediaan kita untuk tunduk kepada aturan-aturan yang terkait dengan
pemberantasan korupsi itu bernilai ibadah.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar